Wilayah Propinsi Nusa
Tenggara Barat yang sebagian besar beriklim kering semiringkai tropika (tropical
semi arid) memiliki curah hujan kurang dari 1200 mm/tahun dengan bulan
basah (> 200 mm/bln) berkisar dua sampai empat bulan (Oldeman dkk., 1977).
Karakteristik iklim yang sangat beragam dari tipe iklim C3, D3, D4, E3 dan E4
(Oldeman dkk., 1977) serta variasi geologi yang menghasilkan keragaman tanah
(ada 6 ordo dan sekitar 17 great-group menurut Soil Suvey Staff (1992) yang ada
di Propinsi NTB menjadi tempat yang sangat representatif untuk pengkajian
budidaya pertanian lahan kering semiringkai di Indonesia.
Mengembangkan sitem
pertanian yang berkelanjutan adalah suatu keharusan yang perlu dilakukan jika
kita ingin terus dapat melakukan pembangunan di berbagai bidang. Kita telah
menyaksikan bahwa pertambahan penduduk dunia yang meningkat begitu pesat yang
menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam (SDA) yang berlebihan serta kerusakan
lingkungan yang sangat cepat. Kemampuan kita dalam mengatasi kerusakan
sumberdaya alam dan lingkungan akan sangat tergantung pada kesuksesan pertanian
dalam menjamin sistim ketahanan pangan. Keberadaan pertanian lahan kering untuk
propinsi NTB dan Indonesia mempunyai posisi yang sangat penting dalam
penyediaan pangan dan berbagai bahan baku industri lainya.
Jika kita ingin mengembangkan
sistim pertanian lahan kering yang berkelanjutan hendaknya kita mampu belajar
dari pengalaman masa lalu dan mencermati cara kita melakukan kegiatan pertanian
yang belum sepenuhnya berkelanjutan. Kehawatiran dalam mengelola sumberdaya
lahan yang kita miliki yang terus mengalami kerusakan yang sangat cepat telah
menjadi perhatian yang serius oleh pemerintah dan masyarakat Propinsi NTB.
Kondisi kerusakan lahan yang menghasilkan lahan kritis di NTB dilaporkan telah
mencapai aras (level) yang sangat menghawatirkan (Suwardji dan Priyono,
2004). Diperkirakan luas lahan kritis di NTB setiap tahun meningkat sekitar
50.000 hektar akhir-akhir ini. Kerusakan ini banyak terjadi di lahan kering
yang karena sifat hakikinya yang sangat rapuh (fragile) terhadap kerusakan.
Sedangkan kemampuan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi lahan hanya
berkisar antara 5.000 sampai 10.000 hektar (Dinas Kehutanan NTB, 2003).
Kerusakan lahan yang
ada di Propinsi NTB banyak terjadi pada lahan kering dan kondisinya sangat menghawatirkan
serta perlu upaya yang sungguh-sungguh
untuk mengatasinya (Suwardji dan Tejowulan, 2003). Memperhatikan kerusakan
lingkungan yang terjadi secara global dan kondisi yang ada di NTB, ada dua
faktor penting yang bertanggung jawab terhadap berbagai masalah kerusakan
lingkungan tersebut yaitu (1) pengembangan industri yang sangat pesat dan (2)
kemiskinan. Beberapa ahli berpendapat bahwa program penyelamatan lingkungan
tidak akan pernah tercapai jika kita tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan.
Dan ini hanya bisa dicapai dengan program-program pemberdayaan masyarakat yang
berkelanjutan dan dilakukan untuk masyarakat miskin (Suwardji, 2004b).
Mencari skenario
pengembangan pertanian lahan kering yang berkelanjutan merupakan upaya yang
sangat penting untuk Propinsi NTB, karena sebagian besar kemiskinan yang ada di
daerah ini ada di lahan kering. Di samping itu lahan kering adalah tumpuan
harapan hidup sebagaian besar masyarakat petani miskin di propinsi NTB serta
merupakan wilayah penyangga (green belt) untuk mempertahankan kualitas
lingkungan.
Makalah ringkas yang
disampaikan dalam seminar ini membahas upaya untuk mencari skenario
pengembangan pertanian lahan kering yang berkesinambungan di Propinsi NTB
berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Lahan
Kering dan Rehabilitasi Lahan Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan
berbagai kajian yang dilakukan di berbagai tempat di Indonesia maupun di luar Indonesia.